Bayangkan sebuah adegan yang hampir tidak masuk akal: seorang Donald Trump yang karismatik dan blak-blakan, duduk di Oval Office, menatap layar komputer dengan mulut agak ternganga. Bukan dia sedang melihat data saham atau laporan intelijen, melainkan mempelajari kebijakan fiskal dari sebuah negeri fiktif bernama Konoha. Konon, sang mantan presiden yang gemar membuat gebrakan itu begitu terkagum-kagum. Ia melihat negeri yang dipimpin oleh Hokage ini bukan unggul karena produktivitas massal atau inovasi teknologi mutakhir, tetapi karena memiliki serangkaian “jurus sakti” dalam mengelola keuangan negara.
Jurus-jurus ini aneh, ajaib, seringkali terdengar konyol di telinga ekonom konvensional, namun entah bagaimana, selalu berhasil menambal lubang-lubang anggaran yang kian melebar. Trump, dengan gaya khasnya, mungkin saja bergumam, “Why don’t we just do this? It’s genius, believe me. Tremendous!”
Mari kita bongkar bersama, dengan kritis dan sedikit satire, jurus-jurus andalan negeri Konoha yang konon membuat para pemimpin adidaya iri. Ini bukan sekedar meme, tetapi sebuah cermin hiperbolis untuk melihat realitas tertentu dengan sudut pandang yang berbeda.
Jurus Pertama: “Rekening Nganggur” sebagai Tambang Emas Negara
Di negeri Konoha, rekening bank yang tidur bukanlah sekadar aset pasif. Ia adalah tambang emas yang siap dipanen oleh negara. Kebijakannya sederhana namun brutal: jika sebuah rekening tidak menunjukkan aktivitas transaksi (keluar atau masuk) dalam jangka waktu tertentu—katakanlah 3 bulan—maka statusnya otomatis berubah menjadi “tidur” atau “diblokir”.
Yang menarik, logikanya seringkali tidak masuk akal. Uang bisa saja masuk, misalnya dari transfer gaji atau dividen, tetapi jika si pemilik tidak segera menggerakkannya dengan transaksi keluar, rekening itu tetap dianggap “nganggur”. Masyarakat yang protes tentu saja boleh mengajukan pembukaan blokir, tetapi bersiaplah untuk antre dalam birokrasi yang berbelit, mengisi formulir segudang, dan mungkin harus datang langsung ke kantor pusat bank dengan membawa segunung dokumen.
Sementara itu, dalam masa penantian itu, uang tersebut secara efektif “dibekukan”. Dan inilah triknya: jika tidak ada komplain yang kuat atau pemiliknya memang tidak menyadarinya (misalnya, rekening milik almarhum atau orang yang sudah sangat tua), saldo itu perlahan-lahan bisa “berpindah tangan” masuk ke kas negara melalui mekanisme tertentu. Diam-diam, tanpa drama pengadilan, uang rakyat berubah menjadi dana pembangunan.
Analisis Trumpian:
Bayangkan jika jurus ini diterapkan di Amerika Serikat. Data menunjukkan ada miliaran dolar yang mengendap di rekening-rekening yang terlupakan—milik orang yang telah meninggal tanpa ahli waris yang tahu, milik orang tua yang sudah pikun, atau sekadar simpanan kecil mahasiswa yang ditinggalkan setelah lulus. Jika semua aset idle ini bisa disita negara, Trump mungkin bisa melunasi sebagian bunga utang nasionalnya tanpa harus berdebat sengit dengan Kongres. Ini adalah cara yang “tremendously efficient” untuk mengumpulkan modal, meski sangat mengabaikan hak properti individu.
Jurus Kedua: “Tanah Tidur” yang Langsung Beralih Kepemilikan
Jurus sakti Konoha tidak berhenti di dunia digital. Ia merambah ke aset fisik yang paling berharga: tanah. Kebijakannya lugas: tanah yang dianggap “nganggur” atau “tidak produktif” selama periode tertentu (misalnya 2 tahun) berhak disita oleh negara. Alasannya selalu mulia: “demi kepentingan pembangunan” dan “meningkatkan produktivitas nasional”.
Dalam praktiknya, definisi “tidak produktif” sangatlah elastis. Sebidang tanah warisan yang sengaja dibiarkan sebagai investasi jangka panjang, atau lahan pertanian yang sedang dalam masa rotasi, bisa dengan mudah dicap sebagai “tanah tidur”. Proses pengambilalihan seringkali berjalan cepat, dengan kompensasi yang jauh di bawah harga pasar, jika ada.
Analisis Trumpian:
Pikiran Trump pasti langsung melayang ke hamparan luas Texas, Arizona, atau padang gandum di Midwest yang mungkin terlihat “terbengkalai” di musim tertentu. Dengan menerapkan jurus Konoha, pemerintah federal bisa dalam sekejap menguasai lahan-lahan bernilai miliaran bahkan triliunan dolar. Lahan ini bisa dijual kembali ke pengembang, dijadikan proyek infrastruktur, atau diagunkan. Tidak perlu repot-repot memikirkan kebijakan moneter yang rumit atau menaikkan pajak yang tidak populer. Cukup terapkan prinsip: “Tidur berarti hilang miliknya.” Sebuah cara yang radikal untuk konsolidasi aset negara.
Jurus Ketiga: Royalti Atas “Kursi” dan “Kicauan Burung”
Di Konoha, seni dan budaya bukan hanya untuk dinikmati, melainkan juga untuk dieksploitasi sebagai mesin pencetak uang. Setiap establishment—mulai dari restoran mewah, hotel, hingga warung kopi pinggir jalan—dikenakan kewajiban membayar royalti karena memutar musik.
Namun, kejeniusan (atau kekonyolan) sistem ini terletak pada metodenya. Perhitungannya bukan berdasarkan berapa banyak lagu diputar atau seberapa sering, tetapi berdasarkan luas ruangan dan jumlah kursi yang tersedia. Logikanya? Semakin besar tempat dan semakin banyak kursi, semakin besar potensi pendengar, maka semakin besar royaltinya.
Konsekuensinya menjadi absurd:
- Sebuah hotel bintang lima yang sama sekali tidak memutar musik di lobinya, tetapi memiliki televisi di setiap kamar, tetap kena tagihan royalti.
- Sebuah kafe yang ingin menciptakan suasana alami dengan memutar suara gemericik air dan kicauan burung (bukan musik komersial) juga bisa dikenai biaya karena “menyajikan suara latar”.
Intinya, keberadaan kursi dan potensi adanya suara sudah cukup untuk dijadikan dasar pengenaan pajak.
Analisis Trumpian:
Trump, yang juga pemilik bisnis hospitality, pasti akan terkagum-kagum sekaligus tertawa geli. Bayangkan jika setiap kursi di setiap Starbucks, McDonald’s, Walmart, dan Motel 6 di seluruh Amerika dikenai “pajak kursi” royalti. Pemasukannya bukan lagi jutaan, tetapi miliaran dolar setiap bulannya. Ini adalah mesin uang yang hampir sempurna: berkelanjutan, mudah dihitung, dan sulit dihindari oleh pelaku usaha. Jurus ini memeras dunia usaha dengan kedok melindungi hak cipta, namun dalam praktiknya lebih mirip dengan “pajak udara”.
Jurus Keempat: Pajak Properti yang Melonjak 250% dalam Semalam
Mari berkunjung ke sebuah kota di Konoha bernama Pati. Di sini, terjadi sebuah fenomena kebijakan yang bisa membuat pemilik rumah dan tanah menjerit atau bahkan pingsan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau yang sejenisnya bisa tiba-tiba melonjak hingga 250%.
Sebuah rumah yang sebelumnya hanya dikenakan pajak Rp 1 juta per tahun, tiba-tiba harus membayar Rp 2,5 juta. Alasannya selalu klasik: “meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)” dan “mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan”. Dalam bahasa yang lebih jujur, ini adalah cara cepat untuk menutup defisit anggaran daerah tanpa perlu melakukan efisiensi atau mencari sumber pendapatan yang lebih kreatif.
Rakyat kecil, yang sudah terbebani oleh biaya hidup yang tinggi, dipaksa menanggung beban tambahan ini. Mereka tidak punya pilihan selain mengeluarkan uang lebih dari kantongnya yang sudah menipis.
Analisis Trumpian:
Pajak properti di AS memang tinggi di beberapa negara bagian, tetapi kenaikannya selalu melalui proses politik yang transparan dan debat yang panjang. Trump pasti membayangkan betapa mudahnya menutup defisit anggaran jika ia bisa menaikkan pajak properti secara sepihak sebesar itu. Utang nasional? Bisa berkurang drastis! Tentu, hal ini akan memicu protes besar-besaran, tetapi dari sudut pandang murni pengumpulan uang, ini adalah “shortcut” yang sangat menggoda bagi seorang pemimpin yang pragmatis.
Jurus Pamungkas: Politik “Coba-Coba” dan Kambing Hitam
Dari semua jurus, inilah yang mungkin paling membuat Trump bertepuk tangan: kelincahan politiknya. Di Konoha, terdapat sebuah pola kebijakan yang sangat “efisien”:
- Sebuah kebijakan kontroversial (seperti keempat jurus di atas) diluncurkan.
- Jika masyarakat diam atau protesnya kecil, kebijakan itu terus berjalan dan negara mengumpulkan uang.
- Jika masyarakat ribut dan protesnya viral di media sosial, membahayakan stabilitas dan citra penguasa, kebijakan itu segera ditarik kembali atau “dikaji ulang”.
- Yang paling penting, tidak pernah ada yang salah di level puncak. Selalu ada “kambing hitam”—biasanya seorang pejabat pelaksana, menteri, atau kepala dinas—yang disalahkan. Pejabat itu akan dihujat, mungkin diganti, sementara sang pemimpin tertinggi (Hokage) tetap bersih, tersenyum manis di depan kamera, seolah-olah baru tahu dan sangat peduli dengan aspirasi rakyat.
Analisis Trumpian:
Di Amerika, setiap kebijakan kontroversial langsung menyeret nama Presiden. Setiap kesalahan adalah tanggung jawabnya. Trump pasti iri dengan model Konoha ini. Bayangkan bisa menguji kebijakan ekstrem tanpa risiko terhadap popularitas pribadi. Cukup siapkan beberapa pejabat cadangan sebagai “tumbal”. Jika kebijakan diterima, sang pemimpin yang dapat pujian. Jika ditolak, pejabat bawahannya yang disalahkan. Publik pun cepat lupa, dan siklusnya bisa diulang dengan kebijakan kontroversial lainnya. Ini adalah strategi politik yang nyaris sempurna untuk tetap berkuasa dan dicintai.
Kesimpulan: Pelajaran (Palsu) dari Negeri Dongeng
Dari rekening tidur, tanah nganggur, royalti kursi, hingga pajak properti yang melonjak drastis, semua jurus Konoha ini memiliki satu benang merah: kreativitas tanpa batas dalam menggali dana dari kantong rakyat, seringkali dengan mengorbankan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan hak kepemilikan.
Negeri Konoha, dalam satire ini, adalah personifikasi dari sebuah sistem yang mencari jalan pintas fiskal alih-alih membangun fondasi ekonomi yang kuat melalui peningkatan produktivitas, pemberantasan korupsi, dan iklim usaha yang sehat. Jurus-jurusnya terdengar absurd, tetapi sayangnya, kita dapat menemukan echonya dalam berbagai kebijakan nyata di berbagai belahan dunia, hanya dengan tingkat intensitas yang berbeda.
Jadi, akankah Trump—atau pemimpin mana pun—benar-benar iri dan meniru? Mungkin tidak. Jurus-jurus Konoha adalah resep untuk bencana sosial dan erasa kepercayaan dalam jangka panjang. Namun, satire ini berfungsi sebagai peringatan bagi kita semua sebagai warga negara: untuk selalu kritis, waspada, dan menuntut transparansi. Agar negeri kita tidak menjelma menjadi Konoha yang sesungguhnya, di mana negara hadir bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai pemeras yang licik dan tak kenal ampun.
Kita mungkin bisa tertawa membayangkan Trump yang iri, tetapi di balik lelucon itu, tersembunyi sebuah harapan: agar para pemimpin kita mencari “jurus” yang sesungguhnya—yang beretika, berkelanjutan, dan memakmurkan, bukan yang instan dan penuh tipu muslihat.
Leave a Reply